Thursday, 28 April 2011

Labah-Labah Buncit

Dalam sebuah belukar tinggal seekor labah-labah. Sarangnya lebih besar daripada sarang labah-labah lain. Dahulu bapanya yang membuat sarang itu. Kemudian ia menambah di sekeliling sarang itu.
Labah-labah itu berlari dengan pantas dari tengah ke tepi sarang. Ia menangkap mangsanya. Binatang yang ditangkap segera dimakan. Badannya semakin hari semakin besar. Perutnya buncit. Ia memang kuat makan. Perutnya sentiasa berasa lapar.
Pada suatu hari, datang dua ekor labah-labah. Satu dari arah timur dan satu lagi dari arah barat. Kedua-dua labah-labah mahu menjemput labah-labah buncit makan kenduri. Kenduri itu diadakan pada waktu yang sama. Ia menjadi serba salah. Labah-labah buncit bertanya jiran-jirannya. Mereka juga mendapat jemputan. Jiran di kiri pergi ke jemputan arah barat. Jiran di kanan pergi ke jemputan arah timur. Labah-labah buncit mendapat akal. Ia meminta kerjasama jiran-jirannya.
Labah-labah buncit memberi tali kepada jiran-jirannya. Sesiapa yang makan dahulu tarik tali itu. Ia akan pergi ke sana dahulu. Tali itu diikatkan pada perutnya supaya tidak terlepas.
Kedua-dua labah-labah itu pun pergi. Apabila jamuan dihidang, jiran kanan pun menarik tali dari arah timur. Pada masa yang sama jiran kiri menarik dari arah barat pula. Labah-labah buncit tidak dapat mengikut ke barat. Ia tidak sempat membuka ikatan perutnya.
Kedua-dua jiran labah-labah buncit terus menarik tali masing-masing. Perut labah-labah buncit semakin tercerut. Setelah tidak berjaya menarik, kedua-dua jirannya pun terhenti. Mereka menikmati hidangan. Selepas makan mereka pun pulang.
Mereka mendapati labah-labah buncit pengsan. Mereka cuba membuka tali yang tercerut di perut labah-labah buncit. Sayangnya mereka tidak dapat membuka ikatan itu.
Beberapa hari kemudian labah-labah buncit sedar. Ia berjaya membuka ikatan di perutnya. Sejak itu ia tidak hiraukan makan. Perutnya tidak berasa lapar seperti selalu. Pinggangnya pun ramping bekas kene cerut. Hingga sekarang pinggang labah-labah kecil dan genting.

Wednesday, 27 April 2011

LEGENDA BATU MALIN KUNDANG

Kisah ini menceritakan tentang hukuman yang diterima oleh seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Inti ceritanya adalah sebagai berikut:
Dahulu kala ada seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya bernama Malin Kundang hidup dalam keadaan yang sangat miskin. Setelah dewasa, si anak pergi merantau ke negeri orang untuk merubah hidupnya.
Setelah sekian lama dalam perantauan, si pemuda berhasil menjadi seorang saudagar yang kaya-raya dan memperisteri seorang gadis cantik yang berasal dari keturunan orang kaya juga. Suatu ketika, si pemuda yang telah menjadi saudagar tersebut berlayar ke kampung halamannya dikarenakan suatu urusan dagang. Ketika berlabuh dan turun dari kapal layar besarnya, orang-orang kampung mengenalinya sebagai Malin Kundang yang dulu ketika pergi merantau masih dalam keadaan miskin. Orangpun memanggilkan ibunya yang sudah tua bahwa anaknya ada di pelabuhan. Si ibu segera berangkat untuk menemui anaknya. Namun, ketika bertemu bukan kebahagian yang dia dapatkan tetapi cacian dan makian dari si Malin Kundang. Malin Kundang yang telah kaya itu merasa malu kepada orang lain, terutama kepada istrinya bahwa dia berasal dari kalangan orang miskin. Karena itu dia tidak mengakui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya. Bahkan dengan tega dia meludahi ibu kandungnya sendiri dan mengusir dari kapalnya.Si ibu yang merasa sedih dengan kelakuan anaknya apalagi sampai tidak mengakui dia sebagai ibunya, akhirnya berdoa kepada Tuhan untuk memberi hukuman pada anaknya. Tuhan mengabulkan do'anya. Datanglah badai dan ombak besar menghantam kapal layar yang berukuran besar tersebut dan menghempaskannya ke pinggir pantai. Si Malin Kundang yang merasa bersalah akhirnya memohon ampun pada ibunya. Tetapi semuanya sudah terlambat ketika hukuman dari Yang Maha Kuasa sudah datang. Akhirnya Malin Kundang dikutuk menjadi batu. Sampai sekarang, anda dapat menyaksikan batu-batu berbentuk kapal ditepi Pantai Aie Manieh.

Sang Kancil Dengan Harimau

Harimau sedang asyik bercermin di sungai sambil membasuh mukanya. "Hmm, gagah juga aku ini, tubuhku kuat berotot dan warna lorengku sangat indah," kata harimau dalam hati. Kesombongan harimau membuatnya suka memerintah dan berbuat semena-mena pada binatang lain yang lebih kecil dan lemah. Si kancil akhirnya tidak tahan lagi. "Benar-benar keterlaluan si harimau !" kata Kancil menahan marah. "Dia mesti diberi pelajaran! Biar kapok! Sambil berpikir, ditengah jalan kancil bertemu dengan kelinci. Mereka berbincang-bincang tentang tingkah laku harimau dan mencoba mencari ide bagaimana cara membuat si harimau kapok.
Setelah lama terdiam, "Hmm, aku ada ide," kata si kancil tiba-tiba. "Tapi kau harus menolongku," lanjut si kancil. "Begini, kau bilang pada harimau kalau aku telah menghajarmu karena telah menggangguku, dan katakan juga pada si harimau bahwa aku akan menghajar siapa saja yang berani menggangguku, termasuk harimau, karena aku sedang menjalankan tugas penting," kata kancil pada kelinci. "Tugas penting apa, Cil?" tanya kelinci heran. " Sudah, bilang saja begitu, kalau si harimau nanti mencariku, antarkan ia ke bawah pohon besar di ujung jalan itu. Aku akan menunggu Harimau disana." "Tapi aku takut Cil, benar nih rencanamu akan berhasil?", kata kelinci. "Percayalah padaku, kalau gagal jangan sebut aku si kancil yang cerdik". "Iya, iya. Aku percaya, tapi kamu jangan sombong, nanti malah kamu jadi lebih sombong dari si harimau lagi."
Si kelincipun berjalan menemui harimau yang sedang bermalas-malasan. Si kelinci agak gugup menceritakan yang terjadi padanya. Setelah mendengar cerita kelinci, harimau menjadi geram mendengarnya. "Apa ? Kancil mau menghajarku? Grr, berani sekali dia!!, kata harimau. Seperti yang diharapkan, harimau minta diantarkan ke tempat kancil berada. "Itu dia si Kancil!" kata Kelinci sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar di ujung jalan. "Kita hampir sampai, harimau. Aku takut, nanti jangan bilang si kancil kalau aku yang cerita padamu, nanti aku dihajar lagi," kata kelinci. Si kelinci langsung berlari masuk dalam semak-semak.
"Hai kancil!!! Kudengar kau mau menghajarku ya?" Tanya harimau sambil marah. "Jangan bicara keras-keras, aku sedang mendapat tugas penting". "Tugas penting apa?". Lalu Kancil menunjuk benda besar berbentuk bulat, yang tergantung pada dahan pohon di atasnya. "Aku harus menjaga bende wasiat itu." Bende wasiat apa sih itu?" Tanya harimau heran. "Bende adalah semacam gong yang berukuran kecil, tapi bende ini bukan sembarang bende, kalau dipukul suaranya merdu sekali, tidak bisa terlukis dengan kata-kata. Harimau jadi penasaran. "Aku boleh tidak memukulnya?, siapa tahu kepalaku yang lagi pusing ini akan hilang setelah mendengar suara merdu dari bende itu." "Jangan, jangan," kata Kancil. Harimau terus membujuk si Kancil. Setelah agak lama berdebat, "Baiklah, tapi aku pergi dulu, jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa ya?", kata si kancil.
Setelah Kancil pergi, Harimau segera memanjat pohon dan memukul bende itu. Tapi yang terjadi?. Ternyata bende itu adalah sarang lebah! Nguuuung?nguuuung?..nguuuung sekelompok lebah yang marah keluar dari sarangnya karena merasa diganggu. Lebah-lebah itu mengejar dan menyengat si harimau. "Tolong! Tolong!" teriak harimau kesakitan sambil berlari. Ia terus berlari menuju ke sebuah sungai. Byuur! Harimau langsung melompat masuk ke dalam sungai. Ia akhirnya selamat dari serangan lebah. "Grr, awas kau Kancil!" teriak Harimau menahan marah. "Aku dibohongi lagi. Tapi pusingku kok menjadi hilang ya?". Walaupun tidak mendengar suara merdu bende wasiat, harimau tidak terlalu kecewa, sebab kepalanya tidak pusing lagi."Hahaha! Lihatlah Harimau yang gagah itu lari terbirit-birit disengat lebah," kata kancil. "Binatang kecil dan lemah tidak selamanya kalah bukan?". "Aku harap harimau bisa mengambil manfaat dari kejadian ini," kata kelinci penuh harap."
Pesan Moral : Semua makhluk hidup mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena itu, kita tidak boleh sombong dan memperlakukan makhluk hidup lain semena-mena.

Angsa Budiman

Kononnya, pada suatu hari Raja Sulaiman menitahkan burung belatuk memanggil sekalian haiwan supaya menghadap baginda. "Perintahkan semua haiwan datang ke istana beta. Sudah lama beta tidak bertemu dengan sekalian haiwan," kata baginda. Tanpa berlengah lagi, terbanglah Sang Belatuk ke segenap penjuru rimba. Tuk! Tuk!uk! Sang Belatuk mengetuk batang pokok. "Apa berita yang engkau bawa, wahai Sang Belatuk?" tanya sekalian haiwan. "Aku membawa titah perintah daripada Raja Sulaiman. Baginda menitahkan semua haiwan pergi menghadapnya di istana," ujar Sang Belatuk. Selepas itu, Sang Belatuk terbang ke tempat lain pula. Tuk! Tuk! Tuk! Sang Belatuk ngetuk batang pokok. Begitulah caranya burung belatuk membawa berita kepada sekalian haiwan. Semua haiwan berasa gembira apabila mengetahui berita itu. Mereka akan berlumba-lumba untuk pergi ke istana Raja Sulaiman. Mereka sangat gembira jikalau dapat menghadap Raja Sulaiman. Baginda akan mengurniakan hadiah kepada sekalian haiwan.
Namun, ada juga sesetengah haiwan yang enggan pergi menghadap Raja Sulaiman. "Istana Raja Sulaiman itu tersangat jauh. Matilah aku di tengah perjalanan sebelum dapat sampai ke sana," kata segelintir haiwan yang sengaja mencari helah. Haiwan yang ingkar itu akan dijatuhi hukuman berat oleh Raja Sulaiman. Tersebutlah kisah seekor angsa. Sang Angsa sangat gembira apabila menerima berita Setelah beberapa lama berjalan, Sang Angsa tiba di tebing sungai. "Kalaulah aku pandai berenang, nescaya aku boleh cepat sampai ke istana Raja Sulaiman," kata Sang Angsa dalam hatinya. Sang Angsa ketika itu masih belum pandai berenang. Terpaksalah Sang Angsa terus berjalan perlahan-lahan. Di pertengahan jalan, Sang Angsa terserempak dengan seorang perempuan tua. Perempuan tua itu sedang menangis "Mengapa mak cik menangis?" tanya Sang Angsa. Perempuan itu lalu memberitahu, "Aku tersangat lapar. Bekalan makananku sudah bis." Sang Angsa bersimpati pada perempuan itu. "Janganlah mak cik bersedih. Saya akan tinggal di sini selama beberapa hari untuk bertelur. Telur saya boleh mak cik jadikan sebagai makanan," ujar Sang Angsa. Tinggallah Sang Angsa itu di situ selama beberapa hari. Setiap hari Sang Angsa bertelur sebiji. Perempuan tua itu sangat gembira kerana dia sudah memperoleh bekalan kanan.
daripada Sang Belatuk itu"Inilah kali pertama aku berpeluang untuk berjumpa Baginda Raja Sulaiman!" ujar Sang Angsa dengan penuh gembira. Kononnya, Sang Angsa ketika itu berbulu hitam dan masih berleher pendek. "Engkau hodoh! Engkau tidak layak masuk ke dalam istana Raja Sulaiman," Sang Biawak mengejek. Sang Angsa sangat bersedih hati mendengar ejekan itu. Namun, Sang Angsa tidak mempedulikan ejekan tersebut. Tanpa berlengah lagi, Sang Angsa berjalan perlahan-lahan menuju ke istana Raja Sulaiman.
"Tentulah aku akan lewat menghadap Raja Sulaiman," fikir Sang Angsa. Sang Angsa berasa sedih. Namun, Sang Angsa tidak mahu perempuan tua itu mati kerana kelaparan. Beberapa hari kemudian, perempuan tua itu memberitahu Sang Angsa, "Sekarang bolehlah engkau pergi ke istana Raja Sulaiman. Baki telur yang ada ini sudah cukup untuk mak cik." Perempuan tua itu mengucapkan terima kasih kepada Sang Angsa. "Engkau adalah seekor angsa yang sungguh budiman," kata perempuan tua itu lagi. Sang Angsa lalu meneruskan perjalanannya. Semua haiwan sudah berada di istana Raja Sulaiman. Sang Angsa tiba, tetapi sudah sangat terlewat. "Beritahu pada beta, mengapa engkau lambat sampai?" Raja Sulaiman bertitah kepada Sang Angsa. Sang Angsa sangat ketakutan. Namun, Sang Angsa menceritakan perkara sebenar yang telah terjadi itu kepada Raja Sulaiman. Baginda Raja Sulaiman berasa sangat sukacita kerana Sang Angsa telah menolong perempuan tua itu. "Engkau adalah seekor angsa yang sangat budiman," ujar Raja Sulaiman. "Sekarang beta akan kurniakan hadiah sebagai balasan atas budi baik kamu," kata ja Sulaiman. Sang Angsa sangat gembira.Kamu akan menjadi seekor haiwan yang berleher panjang," ujar baginda lagi. Terkejutlah Sang Angsa mendengar kata-kata itu. Semua haiwan ketawa berdekah-dekah. Mereka menyangka Sang Angsa akan menjadi seekor haiwan yang lebih hodoh. Tetapi sangkaan itu salah! Sang Angsa menjadi haiwan yang sangat cantik. Lehernya panjang, bulunya putih, dan pandai pula berenang. Sang Biawak pula dijatuhi hukuman oleh Raja Sulaiman kerana pernah mengejek Sang Angsa. Lidahnya menjadi panjang, suka terjelir, dan bercabang. Kononnya, itulah sebabnya sampai sekarang angsa menjadi haiwan cantik, berbadan putih bersih, suka berenang, dan dipelihara oleh manusia. Biawak pula terpaksa tinggal di dalam hutan kerana berasa malu. Selain itu, biawak juga suka makan telur kerana kononnya sangat marah pada angsa, ayam, dan itik.

Pena Ajaib

Tersebutlah sebuah cerita dongeng, kononnya di negara China pada zaman dahulu ada seorang budak yang memiliki sebatang pena ajaib. Keluarganya sangat miskin. Ibu bapanya bekerja sebagai petani menanam padi. Tanah yang mereka usahakan untuk menanam padi itu sempit sahaja. Tanaman mereka pula kadang-kadang mengeluarkan hasil yang sedikit. Adakalanya, tanaman mereka musnah akibat banjir. Namun demikian, mereka tetap tabah menghadapi kesusahan hidup. Pada suatu ketika, musim banjir berlaku lagi. Tanaman mereka habis musnah. Meskipun mereka berasa sangat sedih, namun mereka tetap tabahkan hati. Mereka menganggap kejadian itu sebagai takdir daripada Tuhan untuk menguji hidup mereka. Budak itu turut bersedih atas nasib yang dialami oleh ibu bapanya. Pada sebelah petangnya, dia pergi ke ladang itu. Dia ingin cuba mencari, kalau-kalau masih ada padi yang belum rosak. Dia cuba mencari. Alangkah gembira hatinya kerana menemui beberapa tangkai padi yang belum rosak. Tanpa berlengah lagi, dia segera mengambilnya dan membawanya pulang.

"Ibu bapaku tentu gembira kerana padi ini boleh disimpan. Padi ini boleh dijadikan benih," katanya dalam hati. Di pertengahan jalan, dia terjumpa seorang lelaki tua. Pakaian lelaki tua itu bercompang-camping. "Orang tua ini tentu sangat miskin," fikirnya dalam hati. "Tolonglah aku!" orang tua itu merayu. "Apakah yang boleh saya tolong?" dia bertanya kepada orang tua itu. "Aku sangat lapar. Sudah beberapa hari aku tidak makan," kata orang tua itu. "Tetapi saya tidak mempunyai makanan," dia memberitahu orang tua itu. Namun demikian, lelaki tua itu berkata, "Bukankah engkau sedang membawa beberapa tangkai padi?" "Ya, tetapi saya hendak jadikan padi ini sebagai benih!" dia memberitahu hasratnya. Lelaki tua terus berkata lagi, "Berikanlah kepadaku. Padi itu boleh kutanak menjadi nasi." Budak itu berasa kasihan kepada orang tua tersebut. "Baiklah, kalau begitu!" dia terus memberikan padi itu kepada orang tua tersebut. Orang tua itu mengucapkan terima kasih dan terus pergi dari situ. Selang beberapa lama kemudian, datanglah beberapa orang pengawal raja ke rumah budak itu. Pengawal itu memberitahu kepada ibu bapanya, "Besok sediakan padi sebanyak sepuluh guni. Ini adalah perintah daripada raja. Jikalau kamu ingkar, kamu akan dijatuhi hukuman pancung." Takutlah mereka mendengar amaran itu. Mereka tahu raja di negeri itu sangat zalim. Sesiapa yang tidak taat kepada perintahnya akan dihukum mati. "Tolonglah kami!" bapa budak itu cuba merayu. "Sekarang musim banjir. Tanaman tidak menjadi. Kami tidak mampu menyediakan padi sebanyak itu," bapanya cuba merayu lagi. Namun pengawal itu berkata dengan keras, "Kami tidak peduli. Kamu mesti patuh kepada perintah raja." Para pengawal itu terus pergi. Sedihlah hati budak itu. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. "Matilah kita sekeluarga kali ini!" kata bapanya. Malam itu, mereka tidak tidur. Mereka menunggu kedatangan para pengawal untuk menangkap mereka pada waktu pagi. Tetapi pada pagi itu, sebelum para pengawal itu tiba, datang orang tua miskin dahulu ke rumah mereka. "Wahai budak yang sangat baik hati! Dahulu, kamu pernah menolongku sewaktu aku dalam kesusahan. Sekarang giliranku pula untuk menolongmu. Ambillah pena ajaib ini! Aku hadiahkan kepadamu sebagai balasan atas budi baikmu dahulu," kata orang tua itu.Lukislah apa sahaja yang kamu mahu," kata orang tua lagi. Sebaik-baik sahaja selepas berkata demikian, orang tua itu pun terus pergi dari situ. Termenunglah budak itu memikirkan peristiwa itu. Ibu bapanya turut berasa hairan. Benarkah pena ini ajaib?" bapanya bertanya. "Entahlah!" kata budak itu. "Kalau begitu, mengapakah kamu tidak cuba lukiskan sesuatu?" ibunya pula mencelah. Budak itu pun segera mengambil beberapa helai kertas. "Saya lapar. Saya teringin makan daging itik," dia cuba melukiskan gambar seekor itik. "Bapa mahu makan buah limau. Cuba kamu lukiskan sebiji limau," ujar bapa."Ibu pula mahukan sepasang pakaian baharu," ibunya memberitahu dengan perasaan malu-malu.Budak itu melukiskan gambar buah limau dan sepasang pakaian pula. Terkejutlah mereka kerana lukisan itu tiba-tiba sahaja betul-betul bertukar menjadi seekor itik, sebiji limau, dan sepasang pakaian. "Wah, betul-betul ajaib!" kata mereka dengan perasaan gembira. Tidak lama selepas itu, datang para pengawal raja ke rumah mereka. "Sudahkah kamu sediakan sepuluh guni padi?" pengawal itu bersuara keras. "Belum!" jawab bapa budak itu dengan ketakutan. "Sekarang aku akan pancung kepala kamu!" kata pengawal itu lagi. "Tunggu dulu!" budak itu segera menyampuk."Tunggu apa lagi?" pengawal itu benar-benar berasa marah.”Aku akan sediakan sepuluh guni beras yang kamu minta itu," ujar budak itu lagi. Tanpa berlengah lagi, budak itupun segera melukiskan sepuluh guni beras. Pengawal itu semakin marah, "Kamu fikir aku ini bodoh? Apa aku boleh buat dengan sepuluh guni beras dalam kertas lukisan ini? Kamu pun harus kupancung juga." Tetapi lukisan itu kemudiannya betul-betul bertukar menjadi sepuluh guni beras. Terkejutlah para pengawal itu menyaksikan peristiwa tersebut. "Wah, pena kamu ini betul-betul ajaib!" kata pengawal itu. Tanpa berlengah lagi, para pengawal itu segera memunggah semua guni beras tersebut. Mereka lalu cepat-cepat pulang ke istana. Mereka memberitahu peristiwa ajaib itu kepada raja. Tercenganglah raja apabila mendengar berita itu. "Sekarang kamu pergi ke sana semula. Perintahkan budak itu supaya lukiskan seratus guni padi pula untuk beta," titah raja itu. Para pengawal itu pun segera menunaikan titah tersebut. "Sekarang raja perintahkan kamu supaya lukiskan seratus guni padi pula. Jika tidak, kamu akan dipancung," pengawal itu mengarahkan demikian.Tidak lama kemudian, mereka membawa pulang seratus guni padi kepada raja. Tercenganglah raja apabila melihat seratus guni padi itu. Barulah baginda benar-benar percaya bahawa pena yang dimiliki oleh budak itu adalah pena ajaib. Semenjak itu, bahagialah hidup budak itu bersama-sama dengan ibu bapanya. Dengan adanya pena ajaib itu, mereka dapat memiliki apa sahaja yang mereka mahu. Malah, budak itu tidak lupa untuk menolong penduduk kampungnya yang hidup miskin. Budak itu melukiskan pelbagai jenis makanan dan haiwan ternakan untuk penduduk kampung. Setiap hari, berduyun-duyunlah penduduk kampung datang meminta pertolongan daripada budak itu. Tidak berapa lama kemudian, raja menitahkan budak itu datang ke istananya. "Beta ingin menyerang sebuah negeri lain. Lukiskan untuk beta seratus ribu orang tentera, seratus ribu senjata, dan seratus ribu ekor kuda," titah raja.Baiklah, tuanku!" kata budak itu. "Tetapi patik minta tempoh selama sepuluh hari," kata budak itu lagi. "Mengapakah masanya begitu lama?" raja itu bertanya dengan perasaan marah. "Jumlah tentera, senjata, dan kuda itu sangat banyak. Patik tidak boleh menyiapkan lukisannya dalam masa satu hari," jawab budak itu. "Baiklah, kalau begitu!" raja itu bersetuju. Budak itu pun segera pulang ke rumahnya. Dia memberitahu hal itu kepada ibu bapanya. "Lukiskanlah semua gambar itu. Kalau tidak, kita akan mati dipancung oleh raja," kata bapanya. Tetapi budak itu tidak mahu berbuat demikian. "Mengapa pula kamu enggan melukiskannya?" tanya bapanya. "Ramai orang akan mati, kalau diserang oleh raja itu," jawab budak itu."Kalau begitu, apakah yang harus kita lakukan?" ibunya berasa sangat takut. "Ya, kita tentu akan mati dipancung oleh raja!" ujar bapanya lagi. "Kita harus lari dari sini!" jawab budak itu. "Bagaimanakah caranya kita hendak melarikan diri?" tanya bapanya. Tanpa berlengah lagi, budak itu pun segera melukiskan gambar sebuah kapal dan laut. Apabila sudah siap dilukis, di hadapan mereka betul-betul terdapat sebuah kapal dan laut. Mereka segera menaiki kapal itu dan terus melarikan diri dari negeri itu. Mereka terselamat daripada raja yang zalim itu. "Budak itu sudah melarikan diri!" para pengawal memberitahu raja. Raja itu tersangat marah. Tetapi baginda tidak dapat berbuat apa-apa. Baginda tidak tahu ke manakah budak itu bersama-sama ibu bapanya melarikan diri.

Burung Bangau Dengan Seekor Ketam

Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut.
Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menagkap ikan yang datang berhampiran dengannya.
Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata "Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah".
Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya "Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?". Bangau menjawab " Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini." "Apa yang merunsingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi sebarang masalah." Jawab katak. "Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun". Bangau menyambung lagi "Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati." Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.
Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau "Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?" Burung bangau berkata "Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju." "Apakah cadangan tersebut" kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata " Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang." "Bolehkah engkau membawa kami ke sana" sampuk ketam yang berada di situ. "Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu" kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.
Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya "Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau." Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus. Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata "Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?" Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata "Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku." Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua.
Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau. Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing. Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.

Badang

Pada zaman dahulu terdapat seorang hamba di Temasik. Temasik sekarang dikenali sebagai Singapura. Hamba itu bernama Badang. Tuannya bernama Orang Kaya Nira Sura. Badang diberikan tugas oleh tuannya untuk menebas hutan dan membersihkan semak-samun di sebuah bukit. Tempat itu hendak dijadikan kawasan bercucuk tanam.
Berhampiran tempat Badang menebas itu terdapat sebatang anak sungai. Di kaki bukit berhampiran sungai itulah Badang berehat selepas penat bekerja. Setelah selesai sembahyang, barulah Badang membuka bekalan. Badang makan nasi di dalam upih pinang yang dibawanya. Walaupun berlaukkan pucuk dicecah dengan sambal garam, nasi sebungkus itu habis dimakannya.
Selepas itu, Badang pergi ke anak sungai. Di situ, kelihatan anak-anak ikan bermain-main di dalam air yang jernih. Badang terfikir, "Daripada aku makan nasi dengan sambal, lebih baik aku cuba tangkap ikan itu. Boleh juga dibuat lauk. Kalau dapat banyak boleh aku bawa pulang kepada tuanku. Tentu tuan aku suka kalau dapat merasa ikan tebarau, terbuk, dan lain-lain."
Sebelum Badang pulang, dia menebang buluh. Dia membuat lukah, iaitu sejenis perangkap untuk menangkap ikan. Dia menahan lukah itu di dalam sungai.

Keesokan harinya, pagi-pagi lagi Badang turun pergi menebas. Sebelum mula kerja menebas, Badang turun ke sungai untuk melihat lukah yang ditahannya. Namun, Badang terperanjat apabila melihat terdapat timbunan tulang ikan di tebing sungai berhampiran lukahnya. Badang dengan segera pergi mengangkat lukahnya. Dia mendapati lukahnya telah diusik orang. Di dalamnya tidak ada ikan, kecuali tinggalan sisik-sisik ikan. Dia berasa hairan. Badang menahan lagi lukahnya di tempat yang sama. Kemudiannya, dia pergi menyiapkan kerja.
Seperti biasa apabila hari petang, Badang balik ke rumah tuannya. Dia tidak pergi melihat lukahnya pada waktu petang kerana lukah akan mengena pada waktu malam.
Esoknya pula, Badang pergi menebas seperti biasa. Setelah sampai di tempat itu, Badang terus pergi ke anak sungai untuk melihat lukahnya. Sekali lagi, dia terperanjat kerana timbunan tulang ikan di tepi sungai itu bertambah banyak. Badang terus pergi mengangkat lukahnya. Dia mendapati lukahnya itu tiada ikan, kecuali sisik ikan sahaja yang tinggal. Badang bertambah hairan.
"Siapakah yang makan ikan mentah?" dia bertanya dalam hatinya.
Akhirnya, Badang mengambil keputusan ingin mengintai siapakah yang mencuri ikan di dalam lukahnya itu. Dia menahan semula lukah itu. Kemudian, dia pergi menebas seperti biasa. Apabila hari sudah senja, Badang tidak balik. Dia terus pergi bersembunyi untuk mengintai siapakah yang mencuri ikan di dalam lukah itu. Dia menyorok di sebalik semak. Apabila larut malam, datanglah satu lembaga. Matanya merah, bertaring panjang, berjanggut, dan berambut panjang. Muka lembaga itu sangat hodoh. Kukunya panjang. Lembaga itu mengangkat lukah lalu mengambil ikan-ikan di dalamnya. "Wah, hantu rupa-rupanya!" kata Badang di dalam hati. "Aku tidak takut kepada hantu itu!" ujar Badang lagi di dalam hatinya. Badang lalu memberanikan dirinya, walaupun berasa seram. Dia segera menerkam dan menangkap janggut lembaga itu. Berlakulah pergelutan. Namun, Badang tidak melepaskan lembaga itu. Akhirnya, lembaga itu mengaku kalah. Lembaga itu minta dilepaskan. Namun, Badang tidak melepaskan lembaga itu dengan begitu mudah. Lembaga itu merayu-rayu minta dilepaskan.
"Kalau tuan hamba melepaskan hamba, hamba akan berikan apa sahaja yang tuan hamba mahu," ujar lembaga itu.
Badang terfikir, "Betulkah janji lembaga ini?" Badang mahu menguji, adakah kata-kata lembaga itu benar? Badang cuba memikirkan apa yang dia mahu minta. Kalau minta banyak harta, nanti harta itu akan menjadi milik tuannya. Kalau minta isteri cantik, mungkin akan diambil oleh tuannya juga. Tetapi kalau minta jadi gagah perkasa, tentu boleh menolong tuannya untuk membersihkan hutan itu. "Baiklah! Aku mahu jadi gagah perkasa," kata Badang.
"Kalau tuan hamba mahu jadi gagah, tuan hamba hendaklah makan muntah hamba," kata lembaga itu. Badang termenung dan berfikir sejenak. "Baiklah! Aku setuju. Cepat! Biar aku jadi gagah," kata Badang. Lembaga itu muntah di atas daun keladi yang ada di situ. Tanpa berlengah lagi, Badang pun makanlah muntah lembaga itu hingga habis. Lembaga itu minta dirinya dilepaskan.
"Belum boleh lagi! Tunggu dulu," Badang berkata sambil tangannya masih lagi memegang janggut lembaga itu. Dia mengheret lembaga itu ke arah sebatang pokok besar. Badang cuba mengangkat pokok itu dengan sebelah tangannya. Pokok itu tumbang. Badang berasa sangat gembira hajatnya termakbul. Badang mengucapkan terima kasih kepada lembaga itu. Lembaga yang muka hodoh dan bertaring tadi tiba-tiba bertukar wajah menjadi manusia yang berambut putih dan berjanggut putih.
"Aku bukanlah hantu sebagaimana yang kamu sangkakan. Aku datang untuk menolongmu. Kamu seorang yang cekal, tabah, dan jujur," kata lelaki tua itu. Kemudian dia ghaib daripada pandangan Badang.
"Mungkin dia seorang alim!" fikir Badang.Badang bersyukur kepada Tuhan kerana memperoleh kekuatan yang luar biasa itu. Malam itu, Badang membersihkan semua hutan sebagaimana yang diarahkan oleh tuannya. Setelah selesai, dia pun pulang.
Pada keesokannya, dia tidak pergi menebas lagi. Tuannya memanggil dan bertanya mengapa dia tidak pergi menebas. Badang memberitahu bahawa dia telah membersihkan hutan dan semak-samun tersebut. Tuannya, Orang Kaya Nira Sura itu tidak percaya apa yang diceritakan oleh Badang. Dia pergi ke hutan untuk melihat sendiri keadaan tanahnya. Orang Kaya Nira Sura hairan kerana hutan dan semak-samun itu memang telah habis dibersihkan oleh Badang. Orang Kaya Nira Sura berasa gembira kerana hutan di tanahnya sudah dibersihkan. Namun, dia berasa bimbang, kalau-kalau Badang mengapa-apakannya pula. Orang Kaya Nira Sura lalu mempersembahkan Badang kepada Raja Temasik. Maka Badang pun dibebaskan daripada tuannya. Sekarang Badang tinggal di istana Raja Temasik sebagai budak suruhan.
Pada suatu hari, Pemaisuri raja mengidam mahu makan buah mempelam. Permaisuri menyuruh Badang mengambil buah mempelam muda. Badang tidak lengah-lengah lagi. Dia terus memanjat pokok mempelam di hadapan istana raja itu. Disebabkan buah mempelam itu berada di hujung ranting, dia terpaksa menghulurkan tangan untuk mengambil buah mempelam itu. Tiba-tiba dahan tempat Badang berpijak itu patah. Dia terjatuh ke tanah. Kepalanya terhempas ke batu. Batu besar di bawah pokok mempelam itu terbelah dua. Namun, kepala Badang tidak cedera Permaisuri berasa hairan melihat kejadian itu. Permaisuri lalu pun memberitahu kejadian itu kepada raja. Raja datang menyaksikan sendiri. Baginda melihat batu besar di hadapan istana itu terbelah dua. Baginda sangat hairan akan peristiwa itu. Raja Temasik lalu mengangkat Badang sebagai pahlawan gagah perkasa. Kehebatan Badang tersebar di seluruh Temasik. Kemasyhuran itu turut tersebar ke Benua Keling. Maharaja Keling datang ke Temasik dengan membawa pahlawan yang kuat lagi perkasa dari negaranya. Pahlawan itu bergelar Pahlawan Gagah Perkasa. Pahlawan itu dibawa masuk untuk beradu kekuatan dengan Badang. Raja Temasik bersetuju pertandingan itu diadakan di hadapan pembesar-pembesar negara dan rakyat jelata. Maka tibalah hari yang ditetapkan. Hari pertandingan kekuatan di antara dua buah negara. Sementara menunggu masa dan ketika peraduan dimulakan, Pahlawan Gagah Perkasa dari Benua Keling itu duduk berhampiran dengan Badang. Dia lalu menindih paha Badang dengan pahanya secara bergurau. Namun, Badang boleh mengangkat paha pahlawan itu. "Wah, gagah sungguh Pahlawan Temasik ini!" ujar Pahlawan Gagah Perkasa itu dalam hatinya.
Tetuang dibunyikan menandakan pertandingan akan dimulakan. Pahlawan Gagah Perkasa dari Benua Keling itu mula mengangkat batu di hadapan majlis raja-raja dan pembesar negara masing-masing. Dengan rasa megah pahlawan itu dapat mengangkat batu itu setinggi paras lututnya. Dia lalu membawa batu itu ke hadapan raja dan diletakkannya di situ. Maharaja Keling dan para pembesar negara pun ketawa kerana gembira. Riuh rendah kedengaran. Akhirnya, sampailah masanya giliran Badang. Badang yang bertubuh kerdil berjalan masuk dengan lemah longlai menuju ke batu besar itu. Badang lalu mengangkat batu itu dan membalingnya ke Teluk Belanga. Pahlawan Gagah Perkasa Benua Keling berasa malu kerana tidak dapat menandingi kekuatan Badang yang sungguh gagah perkasa itu. Demikianlah kemasyhuran Badang sebagai seorang yang gagah perkasa pada zaman dahulu. Itulah sebabnya kemasyhurannya menjadi buah mulut yang dituturkan orang dari zaman ke zaman.

Tuesday, 26 April 2011

Timun Emas

Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.

Kanang

Sinopsis Novel ini mengisahkan kehidupan seorang perajurit, iaitu Kanang anak Langkau. Kanang yang berbangsa Iban dan beragama Pagan dilahirkan pada 2 Mac 1945 di Karangan Manok Nanga Meluan di Sarawak. Dia merupakan anak kelima daripada enam orang adik-beradik. Ketika kecil, ibu bapanya berpisah dan dia telah dihalau dari rumah kerana terlalu nakal. Kemudian, dia dipelihara oleh datuk dan neneknya. Kanang bersekolah hingga Darjah Tiga di “Local Authority”. Selepas itu, dia melakukan pelbagai kerja seperti menjadi tukangm masak, penoreh getah, dan mengangkut penumpang dengan menggunakan perahu berenjin. Seterusnya pada 21 April 1960, dia telah berjaya dalam temu duga dan diterima menjadi tentera sebagai Iban Tracker. Kanang berkahwin dengan Helen Latai anak Intie dan dikurniai enam orang anak. Kanang meneruskan khidmatnya dengan Rejimen Ranger dan seterusnya dilantik sebagai eskut. Pada 1 Januari 1966, dia dinaikkan pangkat sebagai Lans Koperal. Pada bulan Mac 1973, dia berpindah ke kem Terentak Melaka, dia berkhidmat dalam Batalian Kelapan Rejimen Ranger. Di sana, dia dinaikkan pangkat sebagai Ketua Seksyen. Ketika menyertai Gerakan Pukat, di Hutan Tanah Hitam Perak, dia telah mendapat cedera parah ketika bertempur dengan pengganas komunis. Akibat daripada kecederaan tersebut, dia tidak sedarkan diri dan terlandar di wad selama setahun. Banyak orang yang menyangka bahawa Kanang tidak akan hidup lama tetapi umurnya masih panjang. Pada tahun 1980, Kanang telah dianugerahi pingat Panglima Gagah Berani (PGB) sebagai mengenang jasa dan keberaniannya menentang pengganas komunis. Pada tahun 1981 pula, Kanang dikurniai bintang keberanian Seri Pahlawan Gagah Perkusa (SP). Kanang meneruskan khidmat sebagai jurulatih di Sekolah Tempur Pegawai Muda. Pada 1 Mei 1981, dia telah dinaikkan pangkat sebagai Staf Sarjan dan seterusnya menjadi Kuatermaster Sarjan. Pada 1 Oktober 1980, dia dinaikkan pangkat sebagai Pegawai Waran II dan sebagai Pegawai Waran I pada 17 Ogos 1985. Kanang bersara pada 30 Mei 1986. selepas bersara, dia dianugerahi ‘Bintara Bintang Sarawak’ oleh kerajaan negeri Sarawak bagi mengenang jasa-jasanya.
Tema Tema novel Kanang ialah keberanian dan semangat kontal dalam perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan Negara dan semangat cinta akan Negara di kalangan anggota tentera. Ini jelas diperlihatakan melalui watak Kanang dan rakan-rakannya yang berjuang mempertahankan tanah air daripada ancaman pengganas komunis. Mereka sanggup mengorbankan nyawa demi menyelamatkan maruah dan kedaulatan Negara. Kanang dan anggota tentera lain begitu berani dan bersemangat apabila berdepan dengan musuh, misalnya semasa Gerakan Pukat, Kanang berjuang habis-habisan menentang penggacas komunis. Kanang telah mendapat cedera parah ketika bertempur dengan pengganas komunis. Namun begitu, dia meminta rakan-rakan dalam pasukannya meneruskan perjuangan menentang pengganas komunis.

Persoalan Persoalan yang terdapat dalam novel Kanang ialah semangat setia kawan dan sepasukan yang kuat. Sikap saling membantu antara sesame anggota tentera jelas dilihat. Kanang dan anggota tentera yang lain memberi bantuan kepada anggota tentera yang cedera dalam pertempuran dengan pengganas komunis dalam operasi Gerakan Setia 8179. Persoalan lain yang terdapat dalam novel ini ialah keberanian melawan musuh terutamanya pengganas komunis. Anggota tentera sentiasa bersemangat untuk melawan musuh dan mengetepikan keselamatan diri sendiri. Contohnya Kanang dan rakan-rakannya begitu berani dan bersemangat apabila berdepan dengan musuh walaupun terpaksa berkorban nyawa. Selain itu, persoalan lain novel ini ialah menyelesaikan masalah dengan bijaksana. Kanang menukarkan pakaian seragamnya dan menyamar sebagai orang awam dengan bertutur dalam bahasa Iban untuk mengelak daripada ditawan oleh tentera Siliwangi. Penghargaan kepada jasa dan pengorbanan juga merupakan persoalan novel ini. Kanang menerima pelbagai anugerah kerana jasa dan pengorbanannya mempertahankan negara. Antaranya pingat yang dianugerahi kepada Kanang oleh kerajaan ialah Pingat Panglima Gagah Berani (1980), Seri Pahlawan Gagah Perkusa (1981) dan Pisau Angkatan Tentera (1982).

Plot Permualan Kanang menghadapi kesusahan hidup kerana ayah dan ibunya berpisah semasa dia kecil. Kanang dipelihara oleh datuk dan neneknya selepas dihalau oleh ibunya kerana terlalu nakal.
Perkembangan Sewaktu remaja, Kanang melakukan pelbagai kerja seperti penoreh getah, tukang masak dan mengangkut penumpang dengan perahu. Kemudian, dia diterima menjadi anggota tentera sebagai Iban Tracker. Dia berkahwin dengan Helen Latia anak Intie.
Perumitan Kanang berjuang menentang tentera Indonesia semasa zaman konfrontasi. Dia turut menyertai beberapa pertempuran dengan pengganas komunis di dalam hutan dan berjaya membunuh beberapa orang pengganas komunis.
Klimaks Dalam satu pertempuran dengan pengganas komunis, Kanang mendapat cedera parah dan tidak sedarkan diri. Dia terlantar di hospital selama setahun.
Peleraian Selepas sembuh, Kanang meneruskan perkhidmatannya dalam tentera sehinggalah bersara pada 30 Mei 1986 dengan pangkat Pegawai Wanran I. Kanang sekeluarga hidup dalam keadaan yang sederhana. Selepas bersara Kanang hidup sebagai petani dan isterinya berniaga secara kecil-kecilan untuk menampung perbelanjaan keluarga. Walaupun kehidupan Kanang agak perit selepas bersara, namun dia bersyukur kerana semua pihak menghargai setiap pengorbanan dan jasa yang telah dicurahkan kepada negara.

Watak dan Perwatakan Kanang Anak Langkau Kanang lahir pada 2 Mac 1945 di karangan Manok Nanga Meluan. Dia ialah seorang yang berbangsa Iban dan beragama Pagan. Dia ialah seorang yang nakal semasa kecil sehinggakan dihalau oleh ibunya dan tinggal bersama datuknya. Dia telah belajar di Sekolah Local Authority hingga darjah tiga. Dia telah menjadi tentera secara kebetulan. Semasa dia menghantar dua puluh orang pemuda yang hendak menghadiri temu duga bagi menyertai Iban Tracker di sebuah sekolah berhampiran kampungnya. Kanang dipelawa oleh seorang anggota tentera British lalu menyertai perbarisan dan menjalani temu duga. Akhirnya, Kanang diterima sebagai Iban Tracker. Selepas itu, Kanang telah berkahwin dengan Helen Latai anak Intie dan dikurniai enam orang anak. Kanang ialah seorang yang amat mempercayai mimpi dan menganggapnya sebagai amanat atau maklumat yang boleh dipercayai betul dan berguna. Kanang juga ialah seorang yang berani, dia selalu menjadi peninjan pertama sewaktu melakukan gerakan. Dalam pertempuran, dia bertindak berani dan menembak musuh tanpa mempedulikan nyawanya. Dia seorang yang patuh kepada arahan, majlisnya kerana ditugaskan dalam operasi mencari anggota 1st Loyal New Zealand Army yang hilang. Dia juga seorang yang berdedikasi, berani dan cinta akan negara. Dia telah berjuang menentang tentera Indonesia dan turut menyertai beberapa pertempuran dengan pengganas komunis di dalam hutan.
Helan Latai anak Intie Helen ialah isteri Kanang dan dikurniai enam orang anak. Dia ialah seorang isteri yang penyayang dan mengambil berat terhadap suaminya. Semasa Kanang cedera parah dan terlandar di hospital selama setahun, dia selalu menjaga suaminya di hospital. Dia juaga adalah seorang yang pandai menyesuaikan diri. Setelah dia berkahwin dengan Kanang, dia tidak boleh bertutur dalam bahasa Melayu dan dia telah sesat semasa pergi pasar, tetapi dia telah berusaha gigih untuk menyesuaikan diri. Dia juga adalah seorang yang lemah semangat kerana dia telah pengsan setelah menerima berita tentang Kanang telah mengalami cedera parah dan terlandar di hospital.
Latar Latar Tempat 1.Pasar Taiping, Perak : Isteri Kanang, Helan telan sesat di pasar Taiping ketika dia mula-mula belajar di pasar akibat malu bertanya kerana dia tidak tahu berbangsa Melayu. 2.Simanggang (Bandar Sri Aman) penghujung tahun 1964, di rumah Panjang Skra Hilir Sarawak : Kanang bersama bapa saudara Helen bertemu kali pertama dengan Helen Latai anak Intie. Kanang dan Helen kemudiannya berkahwin pada 25 Mei 1965 di Simanggang. 3.Rumah Kelamin pegawai di kem Terentak, Melaka : Kanang bertindak nakal. Dia telah mengambil helmet dan meletakkan di muncung senapang dan menyandarkannya ke dinding pos supaya orang menyangka senyri sedang berkawal.
Latar Masa 1.Bulan Mac 1962, pada waktu tengah hari dalam cuaca yang panas :Kanang menghantar dua puluh orang pemuda untuk menghadiri temu duga Iban Trackers. 2.Pada sebelah petang : Kanang bersama pasukan penjejak tiba di Lapangan Terbang Changi, Singapura untuk membantu pasukan 1st Singapura Infantry Regiment. 3.4 Jun 1979 : Kanang sebagan plantun sarjan telah menyenaraikan barang-barang penggarus dan meneruskan penggeladahan di kiri dan kanan sungai Piah.
Latar Masyarakat 1.Iban : Kanang - Rumah Panjang karangan manok ; Helen - Rumah Panjang Skra Hilir (Kaum Iban). 2.Pekerjaan masyarakat : Masyarakat Iban yang menjalankan pertanian seperti menanam padi, menjala ikan dan memburu binatang. 3.Pelbagai agama : Masyarakat Iban yang beragama Pagan.
Gaya Bahasa 1. Simile : saya mula merasakan musuh bermain serak-sorak dengan kani. 2. metafora : barah menembusi baju lorengnya akibat luka di tangannya. 3. Kepitisi : Kalau darahlah yang diperlukan, maka darahlah yang kedapatan. Nilai murni dan Pengajaran
Nilai murni 1. Bertanggungjawab - tanggungjawab sebagai pejuang tanah air amatlah besar dan harus disanjung tinggi. 2. Keberanian - para pejuang tanah air, terutama watak Kanang mempunyai sifat keberanian yang luar biasa dan sanggup mengadaikan nyawa demi orang lain dan negara. 3. Yakin pada diri sendiri - seseorang itu perlu yakin akan apa yang dilakukan dan tidak bertindak membuta tuli. Begitu juga dengan watak Kanang yang sentiasa yakin akan apa yang dilakukannya, terutama ketika bertugas di dalam hutan. 4. Cinta akan negara - negara merupakan tempat kita dilahirkan, tempat perlindungan, dan tempat kita mencari identiti diri. Oleh itu, kita harus berbangga terhadap negara sendiri. 5. Mengambil berat - jangan mengambil mudah dan bersikap sambil lewa terhadap sesuatu perkara yang berlaku. 6. Tabah - ketabahan merupakan perkara penting yang perlu ada dalam diri seseorang, lebih-lebih lagi ketika menghadapi tugas yang amat berat. 7. Berusaha dengan bersungguh-sungguh - jika kita memperoleh sesuatu yang dihajati, kita perlulah berusaha agar apa yang kita lakukan mendapat pengiktirafan daripada seseorang. 8. Bersyukur - setiap manusia perlu bersyukur dan berpuas hati atas sesuatu perkara yang diperoleh. 9. Faham-memahami - sekiranya mempunyai suami yang sentiasa bertugas demi negara, si isteri hendaklah memahami tugas suami itu. 10. Berdisiplin - setiap manusia mempunyai disiplin diri untuk melatih kita agar mempunyai jiwa yang teguh, berperaturan, dan dapat menjalani kehidupan yang lebih sempurna.
Pengajaran 1. Kita hendaklah sentiasa mencintai tanah air dan berasa bangga tinggal di tanah air yang aman damai ini. 2. Kita harus menyanjungi pengorbanan yang telah dilakukan oleh para perajurit negara dengan berderma kepada tabung pahlawan. 3. Kita tidak harus mudah berputus asa dalam apa jua yang kita lakukan kerana lambat-laun apa yang kita hajati itu akan tercapai akhirnya. 4. Janganlah kita mementingkan diri sendiri, kelak dibenci orang. 5. Sebagai rakyat yang tinggal di negara yang merdeka ini, kita harus bertanggungjawab menjaga keamanan, imej, dan nama baik negara. 6. Kita hendaklah sabar menghadapi dugaan hidup yang datangnya daripada Tuhan. 7. Kita tidak seharusnya berasa takut dalam perjuangan untuk mencapai kejayaan. 8. Kita seharusnya mempunyai semangat nasionalisme yang kuat, berani dan sanggup berkorban demi negara serta mempunyai semangat perjuangan yang tinggi. 9. Sebagai anggota tentera, kita hendaklah meningkatkan kemahiran dan profesionalisme agar dapat melahirkan satu masyarakat tentera yang bersemangat waja, kuat, dan cekap. 10. Pihak kerajaan, swasta, mahupun orang perseorangan perlulah membantu mana-mana pahlawan yang masih hidup dalam kemiskinan agar mereka turut merasai bahawa pengorbanan mereka dihargai dan mereka dapat hidup senang seperti orang lain juga.

Sejarah Bukit Kepong

Kejadian Bukit Kepong adalah pertempuran bersenjata yang bersejarah yang berlaku pada 23 Februari1950 antara pihak polis dan Parti Komunis Malaya (berbangsa Cina)semasa sebelum kemerdekaan Tanah Melayu. Pertempuran ini berlaku di kawasan sekeliling balai polis Bukit Kepong di Bukit Kepong. Balai polis yang diperbuat daripada kayu ini terletak ditebing sungai Muar, sekitar 59 km dari bandar Muar, Johor, Malaysia.
Kejadian ini bermula sebelum subuh apabila pihak Komunis melancarkan serangan gerila ke balai polis. Ia berakhir dengan tragik dalam penyembelihan berdarah dengan penyerang membunuh hampir kesemua pegawai polis yang bertugas di situ. Pihak komunis hendak menjadikan contoh dari serangan itu tentang apa yang akan terjadi kepada mereka yang menentang perjuangan Komunis. Apabila mereka memulakan pengepongan, pihak penyerang percaya bahawa mereka akan dapat mengalahkan polis dan mengawal stesen polis tersebut dalam tempoh yang singkat. Ini disebabkan beberapa faktor yang menyebelahi mereka:
  1. Kelebihan senjata dan jumlah keanggotaan
  2. Keadaan balai polis yang terpencil
Balai Polis Bukit Kepong terletak diselekoh sungai Muar, sebuah perkampungan kecil yang terpencil dengan sekitar dua puluh buah rumah dan kedai. Menjelang awal 1950, ia merupakan tumpuan pergerakan pihak komunis di situ. Ketika itu balai polis itu diketuai oleh Ketua Polis Balai (KPB) Sarjan Ray Dancey, yang pernah berkhidmat di Palestin. Ketika serangan ke atas balai tersebut, beliau telah lama ditukarkan dan jawatannya diambil alih oleh Sarjan Jamil Mohd Shah, kemungkinannya perkara yang diketahui oleh penyerang komunis.
Selain itu terdapat platun campuran 15 anggota polis Tugas Am dan Konstabel Polis Marin pimpinan Sarjan Jamil sendiri. Ketika itu pasukan ini turut diperkukuhkan oleh tiga konstabal polis khas dan empat Polis Tambahan bagi tugas mengawal dan lain-lain, yang menjadikan 22 orang anggota kesemuanya.
Tiga belas isteri dan anak-anak anggota tinggal di berek kelamin di sebelah belakang Balai. Sistem perhubungan yang sukar adalah sebab utama penempatan pasukan polis marin di situ.

 Serangan Komunis

Menurut saksi, terdapat sekitar 200 orang pengganas komunis daripada Kompeni Bebas ke-4 yang menyerang dan dipercayai diketuai oleh Muhammad Indera, Komunis Melayu dan Komisser Goh Peng Tun. Pihak komunis mengepong balai Polis dengan separuh di bahagian hadapan, bakinya mengelilingi balai polis tersebut. Pertempuran bermula sekitar 04.15 pagi. Apabila Konstabel Jaffar bin Hassan mencabar dan menembak mati seorang pengganas komunis yang sedang memotong kawat duri balai tersebut. Pihak komunis kemudiannya menyerang dari segenap sudut, terutamanya dari bahagian hadapan. Mereka berharap serangan ini mengejutkan pihak polis tetapi kini berhadapan dengan tentangan hebat anggota-anggota polis tersebut, terutamanya daripada dua kedudukan Bren Gun yang terletak di dalam kubu di bawah bilik Kawalan. Sungguhpun lebih sedikit, pihak polis yang diketuai oleh Allahyarham Sgt Jamil Mohd Shah, enggan menyerah, walaupun berkali-kali diseru oleh komunis agar mereka menyerah. Satu persatu anggota gugur apabila pertempuran berterusan dan dua orang isteri polis yang bertahan turut serta berjuang apabila mendapati suami mereka terkorban semasa pertempuran.
Sekitar pukul 5 pagi pasukan Polis Bantuan beserta sekumpulan penduduk kampung yang lengkap bersenjatakan raifal dan senapang patah digerakkan di Kampong Jawa di bawah pimpinan penghulu Ali bin Mustaffa, dan bergerak untuk membantu. Mereka diserang hendap oleh komunis yang ditugaskan untuk menghalang sebarang bantuan dari luar dan beberapa orang kampung serta pihak komunis juga turut terkorban dalam pertempuran dikawasan itu. Sekitar masa ini, kedua-dua kedudukan Sten Gun turut dimusnahkan komunis.
Sekitar pukul 7 pagi, pihak komunis menawan seorang isteri polis Mariam Ibrahim, isteri kepada Allahyarham Konstebel Mohamad Jaafar. Dikhabarkan, ketua kumpulan komunis, Mat Indera memaksa Mariam merayu agar pihak polis menyerah tetapi tidak diendahkan oleh Jamil sendiri. Pada masa ini Fatimah Yaaba dan anaknya Hassan turut ditawan dan dipaksa menyeru pihak polis menyerah. Mereka yang bertahan enggan berbuat demikian dan terus berjuang habis-habisan. Apabila mereka enggan menyerah, Mariam dicederakan dan Fatimah dibunuh. Suami Fatimah, Konstabel Abu Bakar Daud yang bertugas sebagai pemandu bot di sungai Muar, turut berjuang menentang pihak komunis sehingga cedera setelah ditembak di dada dan tangan, ketika mempertahankan botnya.
Dalam detik terakhir pertempuran hebat itu, komunis membakar berek kelamin dan baai polis. Dua wanita dan anak-anak mereka terbakar hangus dalam berek pasangan kawin. Pada ketika itu hanya 3 orang anggota polis dan seorang pengawal kampung yang masih hidup. Mereka meluru keluar dari balai yang terbakar dan merempuh kedudukan komunis, membunuh sekurang-kurangnya tiga dari kumpulan pengganas yang cuba menghalang mereka. Pihak komunis terus menembak mereka yang cuba lari daripada balai polis yang sedang terbakar itu. Ketika ini penduduk kampung Durian Chondong disebelah barat menghantar bot ke Lenga untuk memberitahu pihak berkuasa mengenai serangan ini.
Hanya selepas lima jam bertempur, baru pihak komunis berjaya menawan balai polis dan membakar balai tersebut. Mereka kemudian berundur kedalam hutan, meninggalkan kesan kemusnahan dan kematian. Pihak komunis turut melontar mereka yang tercedera dan mayat mereka yang terkorban ke dalam api. Antaranya termasuk Hassan bin Abu Bakar anak kepada Konstebal Abu Bakar yang dicampak hidup-hidup kedalam api.
14 anggota polis termasuk Allahyarham Sarjan Jamil, 4 pengawal kampung, 3 polis bantuan, isteri Abu Bakar Daud (adalah seorang polis yang terselamat) dan tiga anak mereka terbunuh dalam kejadian tersebut. Jumlah kematian adalah 25 orang. Mereka yang terselamat pertempuran maut itu adalah 4 anggota polis dan 9 ahli keluarga termasuk isteri dan anak mereka.

 Bantuan dari perkampungan berdekatan

Semasa serangan tersebut, bantuan dihantar dari Kampung Tui semasa pertempuran bergema kebeberapa kampung berdekatan. Sekumpulan penduduk yang diketuai oleh Penghulu Kampung Ali Mustafa dari Kampung Tui diiringi oleh 13 AP/HG (Polis Bantuan - Auxiliary Police/Pengawal Kampung - Home Guard). Mereka diserang hendap oleh komunis dalam perjalanan sekitar setengah kilometer dari stesen pokis Bukit Kepung. Mereka kekurangan senjata berbanding komunis yang menggunakan senjata automatik berbanding raifal dan senapang patah yang dibekalkan kepada penduduk kampung. Beberapa pengawal kampung tercedera dan terbunuh. Walaupun tersekat, kehadiran mereka mengurangkan tekanan kepada pasukan bertahan di Bukit Kepung dan memaksa pengunduran umum komunis.
Disebabkan keadaan tidak seimbangan, Ali Mustafa mengarah pengawalnya berundur sementara yang lain diarah mempertahankan kawasan sekeliling bandar Bukit Kepong. Pihak komunis akhirnya berundur selepas membakar pejabat kampung dan merompak beberapa kedai.
Pada masa yang sama, sekumpulan pegawal kampung lain dari Kampung Durian Chondong menggunakan sampan berkayuh kearah Bukit Kepong bagi memberi bantuan. Dalam perjalanan, mereka turut diserang hendap oleh komunis. Hanya separuh daripada 7 penduduk dalam kumpulan tersebut terselamat untuk terus ke Lenga. Mereka sampai kesana pada 10am dan ketika itu berita mengenai serangan keatas balai polis Bukit Kepong disampaikan.

 Selanjutnya

Apabila pengawal kampung memasuki kampung Bukit Kepung, mereka dapat melihat kemusnahan akibat serangan kejam tersebut. Ketua kampung mengambil alih pentakbiran pos luar tersebut sehingga diganti oleh pasukan polis dari Muar. Pertempuran Bukit Kepong dianggap sebagai kekalahan tragik yang bagaimanapun mengukuhkan lagi semangat kerajaan dan penduduk untuk memerangi pengganas komunis. Sepasukan kecil berjuang menentang pasukan yang jauh lebih besar meningkatkan semangat dan moral dalam perjuangan menentang komunis. Terdapat pendapat yang menyamai peristiwa Bukit Kepong dengan Alamo, di mana anggota polis Bukit Kepong sama seperti penduduk (Texans) berhadapan dengan cabaran yang hebat dan berjuang sehingga ketitisan darah terakhir.

Hang Tuah

Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. )[1] Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D. Bapanya bernama Hang Mahmud manakala ibunya pula ialah Dang Merdu Wati. Bapanya juga pernah menjadi hulubalang istana yang handal suatu ketika dulu, begitulah juga ibunya yang merupakan keturunan dayang di istana. Hang Tuah ialah Laksamana yang terkenal dengan kesetiaannya kepada Raja dan merupakan petarung silat yang amat handal dan tiada tolok bandingnya.
Hang Tuah dan empat orang kawannya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu menuntut ilmu bersama Adiputra di Gunung Ledang. Selesai menuntut ilmu, mereka berlima kembali ke kota Melaka.
Pada suatu hari, mereka berjaya menyelamatkan Dato' Bendahara (iaitu Perdana Menteri) daripada seorang lelaki yang sedang mengamok. Dato' Bendahara kagum dengan ketangkasan mereka dan menjemput mereka semua ke rumahnya dan seterusnya mengambil mereka untuk bertugas di istana.
Sejak itu Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya amat disayangi oleh Sultan hinggalah Hang Tuah mendapat gelar Laksamana. Semasa mengiringi Sultan Melaka ke Majapahit di tanah Jawa, Hang Tuah telah berjaya membunuh seorang pendekar Jawa bernama Taming Sari. Dalam pertarungan itu Taming Sari, seorang pendekar yang kebal yang tidak dapat dilukakan. Tetapi Hang Tuah mengetahui bahawa kekebalan Taming Sari terletak pada kerisnya. Oleh itu Hang Tuah berjaya merampas keris berkenaan dan membunuh Taming Sari. Keris itu kemudiannya dianugerahkan oleh Betara Majapahit kepada Hang Tuah. Pemilik keris ini akan turut menjadi kebal seperti pendekar Jawa Taming Sari.[perlu rujukan]
Hang Tuah telah diutuskan ke Pahang bagi mendapatkan Tun Teja untuk dijadikan permaisuri Sultan Melaka. Ketika Hang Tuah ke Pahang, Melor turun dari Gunung Ledang mencari Hang Tuah. Melor telah ditawan oleh Tun Ali atas hasutan Patih Karma Vijaya bagi dijadikan gundik Sultan. Atas muslihat Tun Ali juga, Hang Tuah yang kembali dari Pahang akhirnya dapat berjumpa Melor, tetapi Sultan juga turut menyaksikan perbuatan Hang Tuah itu. Melor dan Hang Tuah dihukum bunuh kerana difitnah berzina dengan Melor yang telah menjadi gundik Sultan. Namun, hukuman mati tidak dilaksanakan oleh Bendahara sebaliknya Hang Tuah disembunyikannya di sebuah hutan di Hulu Melaka.
Hang Jebat telah dilantik oleh Sultan menjadi Laksamana menggantikan Hang Tuah dan keris Taming Sari telah dianugerahkan kepada Hang Jebat. Hang Jebat sebagai sahabat karib Hang Tuah, menyangka bahawa Hang Tuah telah teraniaya dan telah menjalani hukuman mati. Hang Jebat (menurut Hikayat Hang Tuah) atau Hang Kasturi (menurut Sejarah Melayu), bertindak derhaka kepada Sultan dan mengambil alih istana. Tidak ada pendekar atau panglima di Melaka yang dapat menentang Hang Jebat (atau Hang Kasturi) yang telah menjadi kebal kerana adanya keris Taming Sari di tangannya.
Sultan Mahmud terpaksa melarikan diri dan berlindung di rumah Bendahara. Pada masa itu baginda baru menyesal kerana membunuh Hang Tuah yang tidak bersalah. Inilah masanya Bendahara memberitahu yang Hang Tuah masih hidup. Hang Tuah kemudiannya telah dipanggil pulang dan dititahkan membunuh Hang Jebat. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah akhirnya berjaya merampas semula Taming Sarinya daripada Hang Jebat dan membunuhnya.
Dalam pertarungan yang sedih ini, Hang Jebat telah cuba membela sahabatnya yang telah difitnah. Namun begitu, Hang Tuah telah membantu sultan yang sebelum itu menghukumnya tanpa sebarang alasan. Sedangkan Abu Bakar Siddiq R.A juga berkata kepada orang Muslim bahawa jika dia bersalah, rakyat boleh menjatuhkannya. Ternyata, kesilapan Hang Tuah yang tidak berfikir bahawa Allah S.W.T lebih berkuasa dari sultan dan memang tidak salah Hang Jebat cuba menegakkan kebenaran. Tragedi ini masih menjadi perbalahan orang melayu sampai sekarang.
Namun begitu, ada juga yang menyokong Hang Tuah. Ini kerana Hang Jebat bukan saja derhaka kepada sultan bahkan telah membunuh ramai orang/rakyat Melaka yang tidak berdosa dengan mengamuk di dalam istana dan seluruh Melaka. Tindakan Hang Tuah yang membunuh Hang Jebat mungkin satu tindakan yang berupa hukuman mati terhadap pembunuh.
Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah ialah "Tak Melayu hilang di dunia" yang bererti bangsa Melayu tidak akan punah di bumi ini.

Si Luncai

Al kisah, maka adalah sebuah negeri bernama Indera Pat, rajanya bernama Maharaja Isin. Maka negeri itu cukup lengkap seperti adapt istiadat negeri yang lain-lain juga, tetapi baginda itu baru sahaja ditabalkan menggantikan paduka ayahanda dan bondanya, kerana baginda itu telah hilang keduanya. Maka isteri baginda itu bernama Tuan Puteri Bongsu, ada berputera seorang, namanya Tuan Puteri Lela Kendi, telah berumur sepuluh tahun.
Arakian, maka adalah dihujung negeri itu seorang anak miskin, yatim piatu, namanya disebut oleh sekalian kanak-kanak dengan gelaran Si Luncai, kerana perutnya besar dan punggungnya tonggek serta pula apabila ia berjalan itu menjemur dada. Ada pun hal kehidupan Si Luncai itu mengambil upah menumbuk dan menjemur padi serta menjual katu api, itulah sahaja kerjanya.
Sekali peristiwa Si Luncai terlalu amat ingin hendak masuk mengadap baginda. Maka ia pun pergilah dengan rupanya yang terlalu buruk itu. Maka tiadalah diterima oleh baginda akan masuk Si Luncai itu, hingga beberapa kali pun demikian juga. Hatta, kepada suatu hari Si Luncai pun bersiaplah memakai pakaiannya yang lain, iaitu berseluar ganjam puth sudah koyak-koyak, dan berbaju hitam buruk menggerebeng seperti sarang petola, serta memakai kain hitam bermancung cobak-cabik, dan bertengkolok batik seperti tali ayam. Setelah sudah memakai itu, Si Luncai pun pergilah mengadap, dan pada masa itu baginda pun hadir sedang bercukur hendak pergi sembahyang Jumaat. Maka Si Luncai pun naiklah kebalai penghadapan di bawah rembat balai itu, lalu ia menyembah pada baginda, seraya ditegur oleh baginda. Katanya Hai Luncai, apa maksudmu datang ini? Maka sembah si luncai, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tiadalah apa-apa hasrat patik, hanya hendak mengadap kebawah dulu yang maha mulia sahaja.
Telah itu baginda pun diamlah. Maka baginda bercukur itu sudahlah. Apabila dilihat oleh Si Luncai ulu baginda itu bergundul tentang tengkuknya, maka ia pun menangislah dengan teramat sangat, tersenak-senak dan terisak-isak sehingga bercucuran air matanya. Maka titah baginda, Hai Luncai, apa engkau tangiskan ini? Maka sembah Si Luncai, ampun Tuanku beribu-ribu ampun, tersangatlah besar dukacita bagi kalbu patik tanyakan, dan hendak pun patik sembahkan telah Tuan patik tanyakan, dan hendak pun patik sembahkan menakuti sangat-sangat dihati patik, siapa mengetahui kalau-kalau menjadi kemurkaan kebawah dulu tuanku.
Maka titah baginda, kabarkanlah olehmu tiada aku marah. Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, ada pun sebabnya patik menangis ini kerana patik lihat ulu Tuanku itu. Ampun-ampun daulatnya barang bertambah-tambah daulat, serupalah betul-betul dengan kepala pachal tua kebawah duli yang telah hilang itu, daripada dogol-dogol dan sulahnya itu sedikit pun tiada bersalahan lagi. Maka itulah sebabnya hiba dan rawan dihati patik. Pada perasaan pati, tambahan pila susuk gaya bayanya pun haruslah sebaya dengan tuanku juga.
Hatta, setelah baginda mendengarkan sembah Si Luncai, maka baginda pun murkalah terlalu amat, merah padam warna mukanya seraya bertitah, hai Luncai, sampailah engkau ini kanak-kanak lagi miskin, patutlah tiada mempunyai akal dan fikiran. Adakah sampai hemat engkau menyamakan sifat aku dengan bapa engkau yang sudah mampus itu? Ceh! Ceh! Tidak kusangka sekali-kali demikian berani engkau. Maka sekarang engkau ini derhaka kepada aku, tentulah engkau kubunuh.
Maka baginda pun memberi isyarat pada hulubalangnya menyuruh tangkap Si Luncai, serta diikat dan dimasukkan kedalam guni. Titah baginda kepada seorang pertanda menyuruh bunuh akan Si Luncai dan campakkan kedalam air dikuala sungai itu. Maka segeralah dikerjakan oleh petanda itu, dibawanya Si Luncai turun kesampan serta berkayuh kehilir.
Maka kata Si Luncai, wahai encik pertanda, mintalah hamba sebiji labu air hendak hamba peloki, seolah-olah ganti ibu hamba, kerana hamba hendak mati ini, bolehlah hamba marifatkan hamba mati bersama-sama dengan ibu hamba. Maka jawab pertanda itu, baiklah. Kerana ia pun belas juga melihatkan orang yang telah tentu mati itu, lalu disuruhnya ambil labu air tempat bekalan mereka didalam perahu itu, yang besar sekali, seraya dikeluarkan dan diuraikan ikatnya lalu diberikan labu itu kepada Si Luncai.
Maka dipeluk oleh Si Luncai, lalu menangislah ia dengan amat sangatnya di tengah-tengah perahu itu. Kemudian lalu ia berkata kepada segala pertanda itu, katanya ya mamak pertanda, hamba melihat tuan hamba berkayuh itu terlalulah kasihan di hati hamba oleh terlampau penatnya. Jika begitu, ada suatu nyanyi supaya boleh membuat pelalai berkayuh itu, kita perbuat beramai-ramai. Maka jawab pertanda itu, apa dia? Luncai, pelalai itu? Maka kata Si Luncai, buatlah demikian. Si luncai terjun dengan labu-labunya, jawabnya biarkan, biarkan. Maka pertanda itu semuanya membuatlah seperti yang diajarkan oleh Si Luncai itu beramai-ramai. Si Luncai terjun dengan labu-labunya! Biarkan, biarkan. Si Luncai terjun dengan labu-labunya. Biarkan, biarkan.
Maka dengan hal yang demikian bernyanyi itu bersahut-sahut, Si Luncai pun terjunlah sungguh kedalam sungai seraya menyelam. Maka pertanda jurumudi itu beberapa kali telah menyatakan, Si Luncai sudag terjun dengan labu-labunya kedalam air, tetapi oleh sabor dengan nyanyinya itu tiadalah siapa yang menghiraukan. Kemudia lalu berkatalah pula jurumudi dengan bengisnya, hai kamu sekalian anak perahu, cubalah lihat kebelakang, Si Luncai sudah terjun.
Maka barulah masing-masing menoleh keburitan perahu. Sesungguhnya campaklah Si Luncai sudah terdiri ditepi tebing sebelah kiri sungai. Wah apatah lagi. Bergopogopohlah masing-masing mengayuh perahu mendapatkan Si Luncai kedarat, lalu ditangkapnya. Telah dapat, dimasukkan kedalam guni itu juga serta diikat, langsung berkayuh pula. Tidak berapa lamanya, dengan kuasa Allah, kedengarlah bunyi suara rusa bertempek di darat bertalu-talu. Maka kata Si Luncai, dari dalam guni itu, Ya Allah, sayangnya rezeki terbuanglah sahaja.
Maka kata pertanda itu, apa engkau kata Luncai? Maka jawab Si Luncai. Tidak ada. Itu bunyi rusa bertempek, sudah mengena agaknya jerat yang hamba tahan disitu dahulu, tetapi apalah daya hendak mengambilnya? Sahajalah binatang itu mati oleh kena jerat, tiada siapa mengambilnya. Maka kata pertanda itu sama sendiri. Mari kita singgah mengambil rusa yang telah kena jerat Si Luncai itu. Telah bersetuju muafakatnya, maka perahu itu pun disinggahkanlah lalu kedarat, sekalian pertanda itu mencari tempat jerat Si Luncai itu merata-rata hutan, dan dimana-mana kedengaran bunyi rusa bertempek, kesitulah dikejar oleh segala pertanda itu dengan tempek soraknya. Demi rusa itu mendengar suara manusia, ia pun makinlah jauh larinya.
Kelakian, tersebutlah perkataan Si Luncai tinggal diperahunya di dalam guni seorang dirinya. Dengan kuasa Allah ta`ala, lalulah seorang India menjual dagangan. Maka dilihat oleh Si Luncai tampak baying-bayangnya kilau-kilau dari dalam guni itu. Maka ia pun berseru-seru dengan nyaring suara, katanya, Ampun Tuanku beribu-ribu ampun, mohonlah patik, sekali-kali patik ta` mahu kahwin dengan paduka anakanda itu. Remaklah patik mati dibuangkan kedalam air ini.
Hatta, setelah didengar oleh saudagar India itu akan rungut Si Luncai, maka ia pun datang mendekati keperahu itu, seraya bertanya. Katanya, hai orang dalam guni, apa tuang ini macam? Siapa punya kerja ini? Maka sahut Si Luncai dengan tangisnya, Ada pun sebab hamba ini menjadi demikian kerana raja negeri ini hendak mengahwinkan hamba dengan puterinya, hamba tiada mahu. Inilah hendak dibunuhnya.
Setelah didengar oleh saidagar India akan kata Si Luncai itu, ia pun terlalu sukacita hendak kawin itu. Lalu katanya, apa? Kahwinkah? Saya banyak suka! Raja mahukah ganti sama saya kasi kahwin dia punya anak? Maka kata Si Luncai, kalau mamak mahu, raja tentu banyak suka. Sahaya yang miskin lalgi ia mahu, ini pula mamak orang kaya. Jika begitu, marilah bukakan saya, mamak menjadi ganti saya. Maka mamak India itu pun naiklah kedalam perahu lalu mengorakkan tali guni dan tali si Luncai. Setelah Si Luncai keluar mamak itu pun masuklah kedalam guni itu lalu diikat pula oleh Luncai akan tangan mamak dan mulut guni itu. Kemudian diajarnya mamak itu. Katanya, apabila, apabila datang hamba raja itu sekarang, mamak bilanglah kepada dia orang, saya mahu kawin dengan anak raja. Maka kata mamak India itu, baiklah.
Setelah sudah, Si Luncai pun menggalas bungkus kain mamak itu, lalu lari pulang kenegerinya. Arakian, tersebutlah perkataan sekalian pertanda yang pergi mencari bekas jerat Si Luncai itu. Telah tiada bertemu masing-masing oun pulanglah keperahu. Maka didengar oleh mereka itu Si Luncai berkata. Saya mau kawin sama raja punya anak, saya mau kawin sama raja punya anak. Berpuluh-puluh kali demikian juga katanya. Maka mereka sekalian pun heran seraya berkata, kena apa Si Luncai ini bermacam-macam pula lakunya? Ini doperbuatnya seperti suara orang India , dan katanya ia hendak kahwin dengan anak raja. Siapalah yang mahukan dia itu agaknya? Hai, hai Luncai, tadi sudah terjun dengan labu-labunya. Sekarang pun engkau hendak menipu kamikah juga? Walau macam mana sekali pun tidakkan kami lepaskan lagi. Matilah engkau sekali ini.
Maka kata mamak India itu, saya bukan Luncailah, saya orang India jual barang-barang kain baju. Luncai sudah pergilah, sekarang sayalah mahu kahwin sama raja punya anak. Maka kata pertanda itu, ya baiklah, Luncai . walau engkau jadi India sekali pun engkau mati juga. Lagi pun sekarang engkau sudah menjadi gila. Adakah patut layak macam engkau hendak kahwin dengan anak raja? Ceh, ceh tak malu.
Demi didengar oleh mamak India itu akan perkataan pertanda yang demikan, ia pun makinlah menangis tetapi tiadalah barangsiapa yang peduli akan dia, masing-masing berkayuh juga. Telah sampailah kekuala lalu dicampakkanlah guni India itu langsung tenggelam dan matilah ia. Maka pertanda itu pun kembalilah persembahkan segala hal ehwal itu kepada baginda. Maka baginda pun terlalu sukacitanya.
Sebermula, maka tersebutlah perkataan Si Luncai berjalan itu. Hari pun sudah malam, ia pun sampailah kerumahnya lalu tidur dan tiadalah ia berjalan dalam tujuh hari lamanya, kerana ia mencari akal tipu daya hendak membinasakan raja itu. Maka pada suatu hari Si Luncai pun memakailah segala serban jubah saudagar India yang ditipunya itu, serta sebuah tasbih panjangnya sedepa dan sebatang tongkat pula dibawanya. Maka ia pun berjalanlah dekat-dekat dengan balairung seri baginda itu. Dan kepada ketika itu baginda pun sedang dihadap oleh orang terlalu banyak, penuh sesak balai penghadapan itu. Maka baginda pun terpandanglah akan Si Luncai memakai pakaian cara haji itu. Maka diamat-amati oleh baginda, sahlah rupa Si Luncai.
Maka titah baginda, hai sekalian orang besar-besar, siapa itu? Beta lihat seakan-akan rupa Si Luncai. Maka sembah mereka itu sekalian, sebenarnyalah seperti titah dulu itu. Pada penglihatan patik-patik sekalian pun demikian juga. Maka titah baginda, cuba juga panggil Tuan Haji itu, bertanya dari mana datangnya. Maka menteri pun berserulah dengan nyaring suaranya, katanya wahai tuan hamba Tuan Haji mari juga singgah, titah di panggil. Hatta telah didengar oleh Si Luncai, maka ia pun singgahlah mengadap baginda serta memberi salam, katanya, Assalamu`alaikum, ya khalifatul mu`minin. Maka disahut oleh baginda, Wa`alaikumussalam, hai muslim, siapa engkau ini?
Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, barang bertambah-tambah daulat shah alam, bahawa patik inilah malaikat Si Luncai yang telah Tuanku bunuh dahulu. Ada pun patik ini sekarang sudah menjadi orang negeri akhirat, bukannya patik orang didalam dunia ini lagi. Setelah didengar oleh baginda dan segala orang besar-besar itu, masing-masing pun, sebenarnyakah sungguh engkau ini malaikat Si Luncai yang mati. Dan lihatlah oleh Tuanku rupa dan pakaian patik ini semuanya sudah berubah diberi oleh malaikat orang tua patik, kerana orang tua patik kedua-duanya dikurniai Allah ta`ala tempat kesenangan di negeri akhirat.
Maka titah baginda, jika demikian, adakah engkau mendengar kabar ayahanda dan bondaku yang telah mangat itu? Maka sembah Si Luncai, bukannya mendengar lagi tuanku, patik sendiri dibawa oleh malaikat orang tua patik itu mengadap ayahanda dan bonda itu. Patik lihat istana dan mahligai paduka ayahanda itu terlalu indahnya daripada tempat semayam tuanku ini.
Maka titah baginda, adakah ayahanda bonda bertanyakan aku in? maka sembah Si Luncai, adalah sangat, tuanku. Patik ceritakanlah kepada baginda itu dari awal hingga akhirnya serta pasal kematian patik itu. Maka demi didengarnya sebab kematian patik tuanku bunuh itu, wah baginda laki isteri pun terlalu murka akan tuanku. Titahnya, tiada patut sekali-kali diperbuat oleh anakku itu, sebab kesalahan engkau yang begitusedikit disurunya bunuh. Kemudian lalu disuruhnya hantarkan patik pada malaikat orang tua patik balik kedalam dunia in, kerana ajal patik belum sampai lagi katanya. Dan lagi titah paduka ayahanda bonda itu kepada patik minta persilakan tuanku pula berangkat bemain-main melihat negeri akhirat, kerana terlalu rindu paduka ayahanda dan bonda itu akan tuanku, dan jika tuanku berangkat kesana, pada fikiran patik telah tetaplah yang tuanku tiada sekali-kali berniat hendak balik kedunia ini oleh tersangat indah-indahnya negeri akhirat itu. Ada pun patik ini tiada berdaya lagi oleh terlampau digagahi paduka ayahanda kedua menyuruh sampaikan pesannya kebawah duli tuanku.
Dari sebab itulah patik balik juga persembahkan titah paduka ayahanda itu, takut kalau-kalau menjadi keberatan pula keatas patik kemudian hari. Akan tetapi jika sekiranya tuanku hendak melihat apa-apa hal paduka ayahanda dan bonda itu, bolehlah juga tuanku kita lihat dari atas dunia ini. Perbuatlah suatu bangun-bangunan yang tinggi boleh patik ajarkan. Ada suatu doa diamalkan, nescaya tampaklah apa-apa hal paduka ayahanda bonda itu dengan kemudahannya.
Tetapi jikalau barangsiapa tiada tampak, harapkan diampuni kebawah duli, alamat besarlah padahnya mereka itu, iaitu telah terjunamlah mereka bukannya daripada anak halal. Maka doa itu pun patik dapat dengan berkat pengajaran paduka ayahanda juga mengajar patik. Maka ada pun hal patik apabila patik rindua akan orang tua patik, maka patik bacakankanlah doa itu, nescaya tampaklah apa-apa halnya didalam kubur, serta sekalian isi negeri akhirat itu.
Hatta, setelah didengar oleh baginda serta sekalian yang mengadap itu masing-masing pun menerimalah pada akalnya serta dengan percayanya. Maka sabda baginda, hai malaikat Si Luncai, aku bertempohlah tujuh hari hendak membuat bangunan itu. Maka sembah Si Luncai, tuanku, daulat beribu-ribu daulat, seperti titah itu patik junjunglah. Maka Si Luncai pun menyembah baginda, mohon ampun pulang kerumah berdiam dirinya.
Arakian, maka baginda pun menitahkan perdana menteri perbuat bangun-bangunan itu dengan segeranya. Maka dikerjakan oranglah seperti titah baginda itu. Selang tiada berapa lamanya bangun-bangunan itu pun siaplah sekaliannya. Maka perjanjian Si Luncai pun genaplah. Ia pun lalu datang mengadap baginda. Telag itu baginda pun berangkatlah diiringkan oleh segala orang besar-besar dan menteri, hulubalang, rakyat sekalian serta dengan Si Luncai naik keatas bangun-bangunan itu.
Telah duduklah sekaliannya maka Si Luncai pun mengajarlah akan baginda serta dengan orang-orang besar akan doa pertunjukkan itu. Maka sembah Si Luncai, ampun tuanku beribu-ribu ampun, apabila sudah tuanku sekalian baca doa ini, jikalau tiada nampak akan paduka ayahanda bonda sekalian isi negeri akhirat, bahawa pada masa itu telah tentulah tuanku sekalian haram zadah.
Demikianlah sekali padahnya berkat titah ayahanda kedua-duanya juga mengajar akan patik doa ini. Maka titah baginda, mana-mana takdir daripada Allah, aku menerima syukur sahaja. Setelah baginda menerima pengajaran daripada Si Luncai maka sembah Si Luncai, persilakanlah tuanku ayahanda bonda itu.
Maka baginda serta dengan sekalian mereka yang belajar itu pun mendongak kelangit. Maka Si Luncai pun pura-puralah memandang sama-sama kelangit. Hatta sembah Si Luncai apa kabar tuanku? Adakah tampak ayahanda kedua-dua duduk diatas takhta kerajaan dengan aman sentosanya dihadapi oleh sekalian anak bidadari? Cubalah tuanku nyatakan kepada patik dengan sebenarnya.
Maka demi baginda mendengarkan sembah Si Luncai, termenunglah baginda sejurus panjang sambil berfikir didalam hatinya, hendak aku katakana tampak, tiada suatu apa pun yang ada, hanya awan saja yang aku lihat, tetapi kalau aku katakana tiada nampak, tetaplah aku dikatakan oleh si Luncai ini anak haram. Jika begitu, biarlah aku berdusta, asalkan jangan terkena nista oleh Si Luncai.
Maka baginda pun mengakulah mengatakan nampaklah sekalian hak ehwal. Sesudah titah baginda demikian itu maka masing-masing pun menurutlah seperti titah itu, semuanya mengatakan nampak belaka. Telah itu, maka sembah Si Luncai, sekiranya jika tiada puas lagi rasanya dikalbu tuanku, persilakanlah esok harinya patik bawa mengadap ayaganda bonda itu supaya lenyap rindu dendam tuanku yang selama ini akan dia dan boleh pula tuanku melihat sekalian perkara yang terlebih ajaib-ajaib serta indah-indah pula daripada yang tuanku lihat tadi. Maka titah baginda, baiklah esok bawalah aku pergi sendiri kepada ayahanda bondaku. Maka sekalian orang besar-besar itu pun berkehendak juga pergi masing-masing. Maka ujar Si Luncai kepada mereka itu, biarlah tuanku sahaja pergi dahulu, diperhamba bawa. Kemudian setelah diperhamba balik kedunia ini dengan baginda, barulah dato sekalian diperhamba bawa kesana.
Arakian, setelah sudah berkata-kata itu, maka baginda pun berangkat turun dari atas bangun-bangunan itu serta diiringikan oleh segala orang besar-besar dan Si Luncai kembali ke balai penghadapan, seraya baginda bertitah kepada Si Luncai, pagi-pagi besok pergilah kita Luncai dengan segeranya.
Maka sembah Si Luncai, silakan tuanku, tetapi hendaklah tuanku titahkan perbuat suatu mongkor kaca, serta perbuati berkisi-kisi luarnya, kemudian diberi bertali dan muatkanlah sekalian perkakasan tuanku serta berkelana sekali. Maka titah baginda, baiklah Luncai. Maka baginda pun segeralah menitahkan beberapa orang pandai dan utas perbuati mongkar seperti yang dikatakan oleh Si Luncai itu, hendak sudah pada malam itu juga dengan tiada boleh tidak. Maka dikerjakanlah oleh segala tukang itu pada malam itu juga. Telah baginda bertitah demikian, baginda pun berangkat masuk keistana mendapatkan adinda dan anakanda baginda, dan Si Luncai dengan segala orang besar-besar itu tidurlah dibalai, tiada kembali lagi.
Hatta, telah datang keesokan hari, baginda pun bangun bersiram ketiga puteranya. Sudah selesai lalu santap nasi dan peganan juadah. Setelah sudah, maka baginda pun bermohon kepada adinda baginda dan memeluk mencium puterinya itu, lalu berangkat kebalai penghadapan. Didapati baginda sekalian orang besar-besar dan menteri, hulubalang, rakyat semuanya telah hadir, dan mongkar itu pun sudah musta`id sekaliannya.
Maka baginda pun memandang kepada Si Luncai seraya bertitah, apa lagi kita Luncai? Maka sembah Si Luncai, silakanlah, Tuanku. Maka baginda pun berangkatlah diiringkan oleh segala menteri, hulubalang dan rakyat sekalian, dibawa oleh Si Luncai kepintu lubang suatu gua yang terlalu dalam, melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya. Seketika berjalan sampailah ketempat itu. Maka Si Luncai pun mendatangkan sembah. Katanya ampun tuanku beribu-ribu ampun, bahawa inilah jalan patik keluar kedunia dahulu.
Maka titah baginda, jikalau begitu, turunlah kita segera, biar orang besar-besar tinggal menanti kita disini. Maka sembah Si Luncai, silakanlah tuanku masuk kedalam mongkor kaca ini dan biarlah patik duduk pada kisi-kisi diluar mongkor, kerana patik hendak membawa jalan keakhirat, iaitu sesudah dihilurkan oleh mereka ini sekalian kebawah.
Telah itu baginda pun masuklah dan Si Luncai berdiri diluar mongkor itu. Setelah musta`id, lalu dihulurkanlah sekalian menteri, hulubalang dan orang besar-besar akan baginda dengan Si Luncai kedalam lubang itu. Maka pada waktu hendak turun mongkor itu, Si Luncai pun bersedia sahajalah hendak berlepas dirinya. Dengan takdir Allah ta`ala, adalah pula suatu lubang yang lain, boleh naik kedunia balik. Apabila terpandang sahaja olehnya, makaa ia pun melompatlah keatas suatu batu ditepi lubang itu dengan pantasnya. Maka baginda tiadalah sempat hendak keluar lagi, oleh meraka yang diatas lubang itu dengan pantasnya. Maka baginda tiadalah sempat hendak keluar lagi, oleh tali mongkor itu terlalulah amat deras dihulurkan oleh mereka yang diatas lubang itu. Maka dilihat baginda makin lama makin gelap gulitalah, sehingga lemaslah baginda tak boleh bernafas lagi.
Maka dengan kudrat dan iradat allah ta`ala, mongkor itu pun terjatuh betul kedalam mulut seekor naga yang terlalu besarnya. Maka demi dirasanya sahaja, apatah lagi, langsung ditelannyalah. Maka baginda pun mangkatlah. Kelakian, tersebutlah perkataan Si Luncai. Telah dilihatnya baginda itu tiada dapat keluar dari dalam mongkor itu, dan langsung terus kebawah sahaja serta telah ghaiblah, maka ia pun berserulah dengan nyaring suaranya, katanya, hai sekalian menteri dan orang besar-besar serta hulubalangku, putuslah tali ini., kerana aku telah bertemu dengan ayahanda bonda, dan tiadalah diberinya aku berbalik lagi kedunia. Si Luncai sahaja aku titahkan balik akan ganti aku menjadi raja dinegeri, serta kahwinkan dia dengan puteriku Tuan Puteri Lela Kendi itu.
Setelah didengar oleh mereka itu masing-masing pun pulanglah keistana baginda, persembahkan seperti titah baginda itu kepada Puteri Bongsu dan anakanda baginda. Aduhai. Demi terdengar sahaja kepada Tuan Puteri keduanya perkabaran dan titah baginda demikian itu, hancur luhur, remuk rendamlah hati Tuan Puteri kedua, lalu menangis menghempaskan dirinya serta pula dengan segala dayang-dayang dan inang pengasuh, bagaikan bunyi orang beramuk didalam istana itu. Maka Tuan Puteri kedua pun lalu pengsan tiada sedarkan dirinya lalu, disirami oleh dayang-dayang sekalian dengan air mawar. Telah Tuan Puteri sedar daripada pengsannya itu, maka ia pun bertitah menyuruh berbuat kenduri akan baginda itu. Demikianlah perkabungan Tuan Puteri keduanya.
Shahdan maka tersebutlah perkataan Si Luncai. Telah tujuh hari tujuh malam ia didalam gua itu, dengan beberapa sengsaranya hendak mencari jalan keluar, dengan takdir Allah ta`ala, diikutnya juga pada jalan yang bercahayanya terang itu. Maka dapatlah selamat sempurnanya.
Hatta, pada keesokan harinya Si Luncai pun pura-pura berjalan kebalai penghadapan baginda. Telah dilihat oleh menteri, huluibalang dan orang besar-besar sekalian akan Si Luncai, masing-masing memberi hormat dan memimpin tangannya, dibawa naik keatas balai, didudukan dikerusi kerajaan baginda dan sekalian wazir, orang besar-besar pun duduklah dibawah mengadapnya.
Maka perdana menteri pun berserulah dengan nyaring suara, katanya ayuhai sekalian encik-encik dan taun-tuan, besar kecil, tua muda, laki-laki perempuan, hina mulia, ya`ni seisi negeri ini. Bahawa sekarang dengan titah Yang DiPertuan yang telah berangkat kenegeri akhirat itu, pada masa ini encik Luncai dengan anakanda baginda Tuan Puteri Lela Kendi itu.
Demi didengar oleh yang oleh yang hadir itu, maka terlalulah ta`jub mereka itu masing-masing, tetapi berdiam diri sahajalah, tiada berkata-kata. Maka Si Luncai bedebah itu pun berbuat pura-pura terkejut seraya mengucap, Astaghfiru`llah, apa sebabnya dato berkata demikian? Hamba taj` rela sekali-kali, kerana hamba tiada besarkan kebesaran dunia ini lagi, oleh hamba telah menjadi orang negeri akhirat sana .
Maka kata Perdana Menteri. Hamba tiada berani melalui titah baginda itu. Telah itu Si Luncai pun diamlah. Maka sabda Perdana Menteri, sekarang juga hendak beta kahwinkan raja dengan Tuan Puteri itu. Maka kadi pun tampillah menikahkan Si Luncai dengan Tuan Puteri Lela Kendi itu, tiada bekerja, hanya mengambil selamat sahaja.
Hatta, setelah sampai waktunya, maka Si Luncai pun masuklah keperaduan dengan Tuan Puteri. Maka Tuan Puteri Lela Kendi pun menangis oleh terlalu meluat ia melihat rupa Si Luncai itu. Beberapa pun dipujuk oleh inang pengasuhnya tiada ia mahu beradu oleh terkenangkan ayahandanya itu. Maka hari pun hampirlah dinihari. Si Luncai pun terlelaplah lalu tidur.
Maka fikir hati Tuan Puteri, sebab Si Luncai bedebah celaka ini, maka aku bercerai dengan bapaku. Jika begitu, baiklah aku bunuh akan dia. Maka Tuan Puteri mengambil sebilah keris ayahnya lalu menikam kerongkong Si Luncai. Maka ia pun mengeruhlah lalu mati. Maka Tuan Puteri pun larilah keluar mendapatkan bondanya berkabarkan hal ehwal itu. Maka Tuan Puteri Bongsu pun sangatlah ketakutan serta memanggil Perdana Menteri. Ia pun masuk kedalam istana. Sabdanya, apakah sebabnya tuan hamba bunuh akan suami tuan hamba ini?
Maka titah Tuan Puteri Lela Kendi, bahawasanya dari sebab Si Luncai celaka itulah beta bercerai dengan paduka ayahanda beta, entahkan ayahanda itu dibunuhnya, dikatakan pergi kenegeri akhirat. Yang beta sekali-kali tiada percaya akan kata Si Luncai itu. Jika sekiranya ia hidup lagi, tentulah mamak pun dibunuhnya juga, jangan syak lagi.
Setelah Perdana Menteri dan Permaisuri mendengarkan sabda anakanda itu terlalu sebal dan sesal keduanya akan segala perkara yang telah lalu itu, semuanya sudah terkena tipu oleh si Luncai. Masing-masing pun menangislah terkenangkan baginda, kerana kebodohan ia sekalian menurutkan kata Si Luncai bedebah itu. Maka mayat Si Luncai pun disuruh tanamkan dengan sepertinya.
Maka bermesyuaratlah sekalian menurutkan sekalian orang besar-besar menabalkan Tuan Puteri Lela Kendi ganti ayahandanya memerintahkan negeri, dipandu oleh memakanda Perdana Menteri menjalankan hukuman seperti istiadat yang dijalankan oleh ayahanda baginda dahulu dengan adilnya. Maka tersangatlah sukacita Tuan Puteri Bongsu oleh puterinya menjadi maharani itu. Maka keduanya pun berbuat amal ibadat akan Allah ta`ala pada setiap waktu serta tiadalah mahu keduanya bersuami lagi. Demikianlah diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini.